Senin, 06 Januari 2014

HUKUM PERBURUHAN

HUKUM PERBURUHAN (UU 12 TAHUN 1948 DAN UU 12 TAHUN 1964)
HUKUM PERBURUHAN (UU 12 TAHUN 1948 DAN UU 12 TAHUN 1964)
UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 12. (12/1948) Peraturan tentang Undang-undang Kerja Tahun 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
bahwa  untuk  menjamin  pekerjaan  dan  penghidupan  yang  layak  bagi  buruh  perlu  diadakan
aturanaturan tentang pekerjaan buruh;
Mengingat:
pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang
Dasar dan Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X;
Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
MEMUTUSKAN : Menetapkan peraturan sebagai berikut :
“UNDANG-UNDANG KERJA TAHUN 1948″.
BAGIAN I.
Tentang istilah-istilah dalam Undang-undang ini.
Pasal 1. (1)    Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan :
(a)    Pekerjaan, ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu
hubungan kerja dengan menerima upah.
(b)    Orang dewasa, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun
keatas.
(c)    Orang muda, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur diatas 14
tahun, akan tetapi dibawah 18 tahun.
(d)    Anak-anak, ialah orang laki-laki maupun perampuan, yang berumur 14 (empat belas)
tahun kebawah.
(e)    Hari, ialah waktu sehari-semalam selama 24 jam.
(f)    Siang-hari, ialah waktu antara jam 6 sampai jam 18.
(g)    Malam-hari, ialah waktu antara jam 18 sampai jam 6.
(h)    Seminggu, ialah waktu selama 7 hari.
(2)    Dalam arti kata majikan termasuk juga kepala, pemimpin atau pengurus perusahaan, atau
bagian perusahaan.
(3)    Disamakan dengan  perusahaan ialah  segala  tempat pekerjaan, dari  Pemerintah maupun
partikelir.
BAGIAN II.
Tentang pekerjaan anak-anak dan orang muda.
Pasal 2.
Anak-anak tidak moleh menjalankan pekerjaan.
Pasal 3.
Jikalau seorang anak yang berumur 6 tahun atau lebih terdapat dalam ruangan yang tertutup, dimana sedang dijalankan pekerjaan, maka dianggap bahwa anak itu menjalankan pekerjaan ditempat itu, kecuali jikalau ternyata itu sebaliknya.
Pasal 4.
(1)    Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari.
(2)    Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan orang
muda pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau
kesejahteraan umum.
(3)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam
ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan buruh muda itu.
Pasal 5.
(1)       Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2)       Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku kepada  buruh muda yang berhubung dengan pekerjaannya kadangkadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal 6.
(1)      Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan termaksud dalam ayat (1).
BAGIAN III.
Tentang pekerjaan orang wanita.
Pasal 7.
(1)       Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita.
(2)       Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan wanita pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum.
(3)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan buruh wanita itu.
Pasal 8.
(1)       Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam       tambang,   lobang   di   dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2)    Larangan  tersebut  dalam  ayat  (1)  tidak  berlaku  terhadap  kepada  orang  wanita,  yang
berhubung dengan pekerjaannya kadang-kadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal 9.
(1)      Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang termaksud dalam ayat 1.
BAGIAN IV.
TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT.
Pasal 10.
(1)    Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Jikalau  pekerjaan  dijalankan  pada  malam  hari  atau  berbahaya  bagi  kesehatan  atau
keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2)    Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu
istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam
bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3)    Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5)    Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu
kerja  dan  waktu  istirahat  untuk  pekerjaan-pekerjaan  atau  perusahaanperusahaan  yang
tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 11.
Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari-hari raya, yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari-hari raya itu.
Pasal 12.
(1)       Dalam hal-hal, dimana pada suatu waktu atau biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa yang tertentu ada pekerjaan yang bertimbun-timbun yang harus lekas diselesaikan, boleh dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang ditetapkan           dalam  pasal  10  dan
11, akan tetapi waktu kerja itu tidak boleh lebih dari 54 jam seminggu.
Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan
buruh.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta
syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 13.
(1)    Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh;
(2)       Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3)       Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat  diperpanjang sampai  selama-lamanya tiga  bulan  jikalau  didalam suatu  keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4)       Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.
Pasal 14.
(1)       Selain waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi harus diberi idzin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.
(2)       Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.
Pasal 15.
(1)       Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus diberi kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2)    Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.
BAGIAN V.
TENTANG TEMPAT KERJA DAN PERUMAHAN BURUH.
Pasal 16.
(1)       Tempat  kerja  dan  perumahan  buruh  yang  disediakan  oleh  majikan  harus  memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kebersihan.
(2)       Dalam  Peraturan  Pemerintah  akan  diadakan  aturan-aturan  yang  lebih  lanjut  tentang syarat-syarat kesehatan yang dimaksudkan dalam ayat (1).
(3)       Pegawai-pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi      perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan.
BAGIAN VI. TENTANG TANGGUNG JAWAB.
Pasal 17.
(1)       Majikan  berwajib  menjaga  supaya  aturan-aturan  dalam  Undang-undang  ini  dan  dalam Peraturan-peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berhubung dengan undang-undang ini, demikian juga perintah-perintah yang diberikan oleh pegawai-pegawai pengawasan perburuhan termaksud dalam pasal 16 ayat (5) di-indahkan.
(2)       Kewajiban  termaksud  dalam  ayat  (1)  ada  juga  pada  pegawai-pegawai  majikan  yang mengawasi pekerjaan dan yang diserahi dengan tegas oleh majikan untuk menjaga, bahwa
aturan-aturan dan perintah-perintah termaksud dalam ayat (1) di-indahkan.
BAGIAN VII. ATURAN HUKUMAN.
Pasal 18.
(1)      Majikan dan pegawai yang mengawasi termaksud dalam pasal 17 yang tidak memenuhi kewajibannya, termaksud dalam pasal 17 ayat (1) dihukum dengan hukuman-kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiyah.
(2)       Jikalau pelanggaran itu terjadi didalam waktu dua tahun semenjak yang melanggar dikenakan hukuman  yang  tidak  dapat  dirubah  lagi,  karena  pelanggaran  yang  sama,  maka  dapat dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.
(3)    Hal-hal yang dapat dikenakan hukuman menurut pasal ini dianggap sebagai pelanggaran.
Pasal 19.
(1)       Jikalau  majikan  suatu  badan  hukum,  maka  tuntutan  dan  hukuman dijalankan terhadap pengurus badan hukum itu.
(2)       Jikalau pengurus badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain, maka tuntutan dan hukuman dijalankan terhadap kepada pengurus badan hukum yang mengurus.
BAGIAN VIII.
TENTANG MENGUSUT PELANGGARAN.
Pasal 20.
Selain dari pada pegawai-pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran pada umumnya, pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dan orang-orang lain yang menurut Undangundang ditunjuk dan diberi kekuasaan untuk itu, kecuali diwajibkan untuk menjaga dan membantu supaya aturan-aturan   dalam   Undang-undang   ini   dan   dalam   peraturan-peraturan  Pemerintah   yang dikeluarkan berhubung dengan Undang-undang ini serta perintah-perintah termaksud dalam pasal 16 ayat (3) dijalankan, diwajibkan juga untuk mengusut pelanggaran.
BAGIAN IX. ATURAN TAMBAHAN.
Pasal 21.
(1)       Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini, demikian juga akan diatur berangsur-angsur berlakunya Undang-undang ini terhadap pekerjaan   atau   macam   pekerjaan   yang   tertentu   untuk   seluruh   atau   sebagian   dari aturan-aturan dalam Undangundang ini.
(2)      Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) dapat juga diadakan aturan-aturan peralihan.
Pasal 22.
Undang-undang ini disebut “Undang-undang Kerja tahun 1948″.
biasa.
Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum diperintahkan, supaya diumumkan secara
Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 20 April 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNO.
Menteri Kehakiman,
Diumumkan
pada tanggal 15 April 1948.
Sekretaris Negara,
A.G. PRINGGODIGDO.
SOESANTO TIRTOPRODJO.
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1948
Pemerintah yang khusus ditunjuk dalam Undang-undang ini. Undang-undang yang khusus sudah barang tentu akan memuat aturan-aturan yang lebih lanjut yang mungkin berbeda dari aturan-aturan dalam Undang-undang yang umum ini. Maka dalam hal itu aturan yang khusus yang berlaku (lex specialis derogat generali).
Undang-undang pokok ini dimaksudkan pula sebagai suatu pernyataan (declaratoir) politik sosial negara kita yang mengenai pekerjaan buruh untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh, selaras dengan pasal 27, ayat (2) Undang-undang Dasar. Undang-undang ini akan merupakan pedoman buat masyarakat pada umumnya dan butuh dan majikan pada khususnya. Keadaan-keadaan dalam perburuhan yang hendak dilaksanakan oleh Undang-undang ini pada umumnya baru bagi buruh Indonesia. Beberapa aturan yang kelihatannya merugikan buruh, misalnya larangan pekerjaan anak, akan berakibat, bahwa anak tidak lagi dapat mencari nafkah sendiri untuk meringankan beban hidup orang tuanya. Mungkin sekali larangan pekerjaan anak akan menimbulkan salah faham diantara buruh yang terkena.
Bagi majikan Undang-undang ini membawa beberapa akibat, yang mengenai keuangannya dan peraturan kerja.
Maka pada permulaan perlu sekali diadakan penerangan kepada buruh dan majikan agar mereka insyaf akan maksud Undang-undang ini dan mudah menyesuaikan diri kepadanya.
Walaupun demikian, dalam masa peralihan mungkin masih timbul beberapa kesukaran dalam perburuhan dan perusahaan karena berlakunnya Undang-undang ini, misalnya dalam hal-hal buruh anak    harus    diganti    oleh    buruh   dewasa.   Kesukaran-kesukaran   itu    dapat   dihindarkan. Kesukaran-kesurakan tidak menimbulkan keragu-raguan untuk mengadakan Undang-undang ini.
Hanya perlu diusahakan untuk mengurangi kesukaran-kesukaran itu. Untuk maksud ini diadakan pasal 21. Dalam peraturan Pemerintah, yang lebih lemas dan mudah dirubah dari pada
Undang-undang, akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini. Demikian juga akan diatur dengan berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu, baik untuk seluruh, ataupun untuk sebagian dari aturan-aturan dalam Undang-undang ini. Selain dari pada itu menurut pasal 22 ayat (2) dapat diadakan aturan-aturan peralihan.
Selanjutnya Undang-undang ini akan dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, sehingga maksudnya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
Undang-undang ini  bersifat  hukum  umum  (publiek  rechtelijk)  dengan  sangsi  hukuman karena :
Pertama           :           Aturan-aturan  yang  termuat  didalamnya  bukan  bermaksud  melindungi kepentingan seseorang saja, melainkan bersifat aturan masyarakat.
Kedua   :         Buruh Indonesia pada umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Berhubung dengan itu maka negaralah yang harus menjaga bahwa aturan-aturan dalam Undang-undang ini dijalankan. Dalam pada itu sangsi hukuman perlu diadakan. Dengan adanya ancaman   hukuman   ini,   akan   dicapai   pula   paksaan   rohani   dan   pengaruh   mendidik   dari Undang-undang ini terhadap yang berkepentingan.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL : Pasal 1.
Ayat (1)           Yang diatur dalam Undang-undang ini ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh
untuk majikan dalam suatu hubungan  kerja  dengan  menerima  upah.  Maka  yang  penting
ialah syarat, bahwa harus ada suatu hubungan kerja yang “zakelijk”. Dalam arti kata upah
tidak  hanya  termaktub  upah  dengan  uang,  melainkan  juga  upah  dengan  barang  atau
perbuatan imbangan, dan bentuk-bentuk upah lainnya. Berhubungan dengan itu misalnya
tidak dikenakan oleh, Undang-undang ini : pekerjaan yang dijalankan oleh pelajar-pelajar
sekolah pertukangan yang bersifat pendidikan, pekerjaan yang dijalankan oleh seseorang
untuk diri sendiri atau perusahaannya sendiri, pekerjaan yang dijalankan oleh seorang anak
untuk orang tuanya, oleh seorang isteri untuk suaminya, pekerjaan yang dijalankan oleh
anggauta-anggauta sekeluarga untuk perusahaan keluarga itu dan pekerjaan yang dijalankan
oleh seorang untuk tetangganya atas dasar tolong menolong menurut ada kebiasaan. Dalam
pasal ini diadakan 3 golongan orang.
Orang dewasa :yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun keatas.
Orang muda : yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur lebih dari 14 tahun tetapi kurang dari 18 tahun. Dalam umur itu kemungkinan kemajuan badan dan kecerdasan sedang berkembang. Berhubung dengan itu, perlu diadakan pembatasan kerja yang mengenai buruh muda, untuk menjaga jangan sampai kemungkinan kemajuan itu terhalang.
Anak        :     ialah  orang  laki-laki  maupun  perempuan,  yang  berumur  14  tahun  kebawah.
Penetapan batas umur ini berhubungan dengan larangan pekerjaan anak. Keadaan badan
anak umumnya masih lemah. Dipandang dari sudut pendidikan anak masih harus bersekolah
sampai umum 14 tahun, yang kira-kira sampai sekolah menengah atau sekolah kepandaian
istimewa 2 atau 3 tahun sesudahnya keluar dari sekolah rendah. Dalam penetapan batas
umur dan larangan pekerjaan anak terkandung cita-cita, bahwa anak-anak kita umumnya sekurang-kurangnya harus berpendidikan rendah ditambah dengan 2 atau 3 tahun sekolah menengah atau sekolah kepandaian istimewa. Batas umur 14 tahun ini ialah sama dengan yang telah ditetapkan dalam Converentie internasional.
Undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda dulu mengambil sebagai batas  umur  12  tahun  untuk  larangan  pekerjaan  anak.  Undang-undang  kerja  ini  dapat dikatakan amat maju dalam hal itu.
Ayat (2)           Dalam Undang-undang ini dianggap tidak perlu ditegaskan arti kata majikan, ialah umumnya tiap-tiap orang pemberi pekerjaan (werkgever). Yang dianggap penting yalah, perluasan arti yang termaktub dalam ayat ini berhubung dengan tanggung jawab tentang berlakunya Undang-undang ini termaksud dalam pasal 17.
Ayat (3)    Perluasan    arti    perusahaan    dengan    sifat    umum    yang    dimaksudkan    dengan
Undang-undang ini.
Pasal 2.
Ayat (1)           Larangan pekerjaan anak  didasarkan atas maksud untuk menjaga kesehatan dan pendidikannya. Badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan apalagi yang berat. Pekerjaan yang ringanpun merugikan kemungkinan kemajuan kecerdasan anak, karena pekerjaan, apalagi yang sifatnya routine, menyebabkan tumpulnya kecerdasan anak. Selain dari pada itu larangan pekerjaan anak dihubungkan dengan kewajiban belajarbagi anak-anak sekarang di Indonesia belum ada kewajiban belajar. Maksudnya bersama-sama dengan larangan pekerjaan anak diadakan tempat pendidikan yang cukup bagi anak.
Pasal 3.
anak.
Pasal ini memudahkan soal bukti dalam menuntut pelanggaran larangan pekerjaan
Pasal 4, 5 dan 6.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang muda dengan melarang pekerjaan orang muda yang mudah merusak atau berbahaya bagi kesehatannya. Orang muda masih harus mengembangkan kemungkinan kemajuannya, jasmani dan rohani. Dalam pasal 4 ayat (2) dan (3) diatas hal-hal yang dapat dikecualikan dari larangan pekerjaan orang muda pada malam hari.
Pasal 7, 8 dan 9.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang wanita atas pertimbangan, bahwa wanita itu lemah badannya untuk menjaga kesehatan dan kesusilaannya.
Dikecualikan dari larangan pekerjaan wanita pada malam hari, pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita, misalnya pekerjaan dalam rumah sakit.
Pasal 10.
Dalam pasal ini ditetapkan waktu kerja maximum dan waktu istirahat. Jikalau kita mengingat masa pembangunan negara yang kita hadapi, dan ternyata mempergunakan pekerjaan buruh dinegeri kita yang pada umumnya belum rasionil, maka penetapan waktu kerja dan istirahat tadi menggambarkan dengan cukup jelas maksud pemerintah untuk mempertinggi derajat penghidupan dan kecerdasan buruh.
Pasal 11.
Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pada hari-hari raya yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan. Maksudnya : ialah, bahwa buruh sepatutnya mendapat kesempatan juga untuk merayakan hari raya itu.
Kekecualian  dalam  pasal  ini  mengenai  misalnya:  pekerjaan  dalam  perusahaan kereta-api, perusahaan pengangkutan lain, yang karena sifatnya harus berjalan terus.
Pasal 12.
Pasal ini merupakan kekecualian terhadap penetapan jam kerja, waktu istirahat dan hari libur dalam pasal 10 dan 11, yaitu mengatur hal-hal dimana buruh terpaksa bekerja terus untuk menghindarkan kekacauan atau gangguan dalam productie atau administrasi. Itupun masih dengan pembatasan waktu kerja sampai 54 jam seminggu. Pekerjaan itu memang berat, akan tetapi oleh karena tidak selalu dipergunakan dan biasanya hanya mengenai pekerjaan masa (seizoensarbeid) maka dalam prakteknya aturan ini tidak akan membawa akibat yang merugikan kesehatan buruh. Syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh akan ditetapkan dalam peraturan Pemerintah misalnya yang mengenai cara kerja giliran; pembatasan lamanya waktu kerja masa dan lain sebagainya.
Pasal 13.
Pasal ini menjamin waktu istirahat bagi buruh wanita pada waktu haidh dan pada
waktu sebelum dan sesudahnya melahirkan anak untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh wanita dan anaknya Pemerintah bermaksud akan menetapkan dalam Undang-undang lainnya, bahwa buruh wanita tadi selama waktu istirahat itu tetap menerima upahnya penuh.
Dalam aturan ayat (4) terkandung maksud Pemerintah untuk menjamin kesempatan bagi buruh untuk menjalankan kewajibannya terhadap anaknya. Dipikirkan juga oleh Pemerintah  misalnya  kemungkinan  mengadakan  tempat  penitipan  dan  pemeliharaan anak-anak buruh wanita.
Pasal 14.
Pasal ini mengharuskan waktu istirahat tahunan selama dua minggu. Buruh kita seharusnya diberi kesempatan untuk beristirahat yang akan dipergunakan untuk menengok kaum keluarga atau untuk mengadakan perjalanan peninjauan dengan maksud untuk menyegarkan badan dan pikiran serta meluaskan pemandangan. Dalam hal ini dipikirkan kemung- kinan mengadakan tempat-tempat istirahat dan peninjauan bagi buruh. Aturan dalam ayat (2) antara lain ditujukan kepada buruh yang bekerja dikepulauan lain dari pada asalnya.
Pasal 15.
Ayat  (1)  dari  pasal  ini  menjamin  kesempatan  bagi  buruh  untuk  menjalankan
kewajiban menurut agamanya. Aturan dalam ayat (2) ini memberikan kesempatan bagi buruh untuk merayakan kemenangannya.
Pasal 16.
Pasal ini memuat aturan pangkal untuk aturan-aturan yang lebih khusus tentang tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan. Aturan-aturan selanjutnya yang khusus akan dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah. Menurut ayat (3) pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perusahaan buruh yang disediakan oleh majikan.
Pasal 17.
Pasal ini menetapkan siapa yang bertanggung jawab, bahwa aturan-aturan dalam
Undang-undang ini, dalam peraturan-peraturan dan perintah-perintah termaksud dalam pasal
16  ayat  (3)  di-indahkan.  Jikalau  majikan  memenuhi  kewajibannya,  niscaya  tidak  akan
dijalankan pekerjaan yang bertentangan dengan aturan-aturan itu.
Pasal 18.
Pasal ini memuat aturan-aturan hukuman. Hal-hal yang dikenakan hukuman menurut Undang-undang ini dianggap sebagai pelanggaran. Ancaman hukuman agak berat berhubung dengan pentingnya tujuan Undangundang ini dan terbelakangnya perburuhan dan buruh di negeri ini.
Pasal 19.
Pasal ini memberi peraturan tentang penuntutan dan penghukuman, jika majikan itu suatu badan hukum.
Pasal 20.
Menyebut   pegawai-pegawai   yang   khusus   diwajibkan   mengusut   pelanggaran aturan-aturan kerja dalam dan berhubung dengan Undang-undang ini.
Pasal 21.
Untuk menjamin supaya Undang-undang ini berlaku selekas-lekasnya dan untuk menghindarkan kesulitankesulitan berhubung dengan keadaan sekarang, maka diadakan macam-macam kemungkinan tentang cara menetapkan berlakunya.
Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa Undang-undang ini berlaku berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu.
Peraturan    Pemerintah    dapat    juga    menetapkan,    bahwa    aturan-aturan    dalam
Undang-undang ini dapat berlaku sebagian atau seluruhnya.
Cara yang ketiga ialah mengadakan aturanaturan peralihan untuk mempermudah
berlakunya Undang-undang ini dengan mempersiapkan keadaan.
Dengan sendirinya usaha persiapan dan peralihan ini memerlukan kebijaksanaan
yang sungguhsungguh. Maka dari itu kewajiban  ini diserahkan kepada  Peraturan Pemerintah yang dengan  cara yang lebih “lemas”  dapat  mengatasi  kesulitan-kesulitan.
SUMBER:
hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_12_1948.pdf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar