Senin, 06 Januari 2014

HUKUM PERBURUHAN

HUKUM PERBURUHAN (UU 12 TAHUN 1948 DAN UU 12 TAHUN 1964)
HUKUM PERBURUHAN (UU 12 TAHUN 1948 DAN UU 12 TAHUN 1964)
UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 12. (12/1948) Peraturan tentang Undang-undang Kerja Tahun 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
bahwa  untuk  menjamin  pekerjaan  dan  penghidupan  yang  layak  bagi  buruh  perlu  diadakan
aturanaturan tentang pekerjaan buruh;
Mengingat:
pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang
Dasar dan Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X;
Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
MEMUTUSKAN : Menetapkan peraturan sebagai berikut :
“UNDANG-UNDANG KERJA TAHUN 1948″.
BAGIAN I.
Tentang istilah-istilah dalam Undang-undang ini.
Pasal 1. (1)    Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan :
(a)    Pekerjaan, ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu
hubungan kerja dengan menerima upah.
(b)    Orang dewasa, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun
keatas.
(c)    Orang muda, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur diatas 14
tahun, akan tetapi dibawah 18 tahun.
(d)    Anak-anak, ialah orang laki-laki maupun perampuan, yang berumur 14 (empat belas)
tahun kebawah.
(e)    Hari, ialah waktu sehari-semalam selama 24 jam.
(f)    Siang-hari, ialah waktu antara jam 6 sampai jam 18.
(g)    Malam-hari, ialah waktu antara jam 18 sampai jam 6.
(h)    Seminggu, ialah waktu selama 7 hari.
(2)    Dalam arti kata majikan termasuk juga kepala, pemimpin atau pengurus perusahaan, atau
bagian perusahaan.
(3)    Disamakan dengan  perusahaan ialah  segala  tempat pekerjaan, dari  Pemerintah maupun
partikelir.
BAGIAN II.
Tentang pekerjaan anak-anak dan orang muda.
Pasal 2.
Anak-anak tidak moleh menjalankan pekerjaan.
Pasal 3.
Jikalau seorang anak yang berumur 6 tahun atau lebih terdapat dalam ruangan yang tertutup, dimana sedang dijalankan pekerjaan, maka dianggap bahwa anak itu menjalankan pekerjaan ditempat itu, kecuali jikalau ternyata itu sebaliknya.
Pasal 4.
(1)    Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari.
(2)    Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan orang
muda pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau
kesejahteraan umum.
(3)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam
ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan buruh muda itu.
Pasal 5.
(1)       Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2)       Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku kepada  buruh muda yang berhubung dengan pekerjaannya kadangkadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal 6.
(1)      Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan termaksud dalam ayat (1).
BAGIAN III.
Tentang pekerjaan orang wanita.
Pasal 7.
(1)       Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita.
(2)       Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan wanita pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum.
(3)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan buruh wanita itu.
Pasal 8.
(1)       Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam       tambang,   lobang   di   dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2)    Larangan  tersebut  dalam  ayat  (1)  tidak  berlaku  terhadap  kepada  orang  wanita,  yang
berhubung dengan pekerjaannya kadang-kadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal 9.
(1)      Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang termaksud dalam ayat 1.
BAGIAN IV.
TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT.
Pasal 10.
(1)    Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Jikalau  pekerjaan  dijalankan  pada  malam  hari  atau  berbahaya  bagi  kesehatan  atau
keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2)    Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu
istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam
bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3)    Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5)    Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu
kerja  dan  waktu  istirahat  untuk  pekerjaan-pekerjaan  atau  perusahaanperusahaan  yang
tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 11.
Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari-hari raya, yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari-hari raya itu.
Pasal 12.
(1)       Dalam hal-hal, dimana pada suatu waktu atau biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa yang tertentu ada pekerjaan yang bertimbun-timbun yang harus lekas diselesaikan, boleh dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang ditetapkan           dalam  pasal  10  dan
11, akan tetapi waktu kerja itu tidak boleh lebih dari 54 jam seminggu.
Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan
buruh.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta
syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 13.
(1)    Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh;
(2)       Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3)       Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat  diperpanjang sampai  selama-lamanya tiga  bulan  jikalau  didalam suatu  keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4)       Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.
Pasal 14.
(1)       Selain waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi harus diberi idzin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.
(2)       Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.
Pasal 15.
(1)       Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus diberi kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2)    Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.
BAGIAN V.
TENTANG TEMPAT KERJA DAN PERUMAHAN BURUH.
Pasal 16.
(1)       Tempat  kerja  dan  perumahan  buruh  yang  disediakan  oleh  majikan  harus  memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kebersihan.
(2)       Dalam  Peraturan  Pemerintah  akan  diadakan  aturan-aturan  yang  lebih  lanjut  tentang syarat-syarat kesehatan yang dimaksudkan dalam ayat (1).
(3)       Pegawai-pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi      perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan.
BAGIAN VI. TENTANG TANGGUNG JAWAB.
Pasal 17.
(1)       Majikan  berwajib  menjaga  supaya  aturan-aturan  dalam  Undang-undang  ini  dan  dalam Peraturan-peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berhubung dengan undang-undang ini, demikian juga perintah-perintah yang diberikan oleh pegawai-pegawai pengawasan perburuhan termaksud dalam pasal 16 ayat (5) di-indahkan.
(2)       Kewajiban  termaksud  dalam  ayat  (1)  ada  juga  pada  pegawai-pegawai  majikan  yang mengawasi pekerjaan dan yang diserahi dengan tegas oleh majikan untuk menjaga, bahwa
aturan-aturan dan perintah-perintah termaksud dalam ayat (1) di-indahkan.
BAGIAN VII. ATURAN HUKUMAN.
Pasal 18.
(1)      Majikan dan pegawai yang mengawasi termaksud dalam pasal 17 yang tidak memenuhi kewajibannya, termaksud dalam pasal 17 ayat (1) dihukum dengan hukuman-kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiyah.
(2)       Jikalau pelanggaran itu terjadi didalam waktu dua tahun semenjak yang melanggar dikenakan hukuman  yang  tidak  dapat  dirubah  lagi,  karena  pelanggaran  yang  sama,  maka  dapat dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.
(3)    Hal-hal yang dapat dikenakan hukuman menurut pasal ini dianggap sebagai pelanggaran.
Pasal 19.
(1)       Jikalau  majikan  suatu  badan  hukum,  maka  tuntutan  dan  hukuman dijalankan terhadap pengurus badan hukum itu.
(2)       Jikalau pengurus badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain, maka tuntutan dan hukuman dijalankan terhadap kepada pengurus badan hukum yang mengurus.
BAGIAN VIII.
TENTANG MENGUSUT PELANGGARAN.
Pasal 20.
Selain dari pada pegawai-pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran pada umumnya, pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dan orang-orang lain yang menurut Undangundang ditunjuk dan diberi kekuasaan untuk itu, kecuali diwajibkan untuk menjaga dan membantu supaya aturan-aturan   dalam   Undang-undang   ini   dan   dalam   peraturan-peraturan  Pemerintah   yang dikeluarkan berhubung dengan Undang-undang ini serta perintah-perintah termaksud dalam pasal 16 ayat (3) dijalankan, diwajibkan juga untuk mengusut pelanggaran.
BAGIAN IX. ATURAN TAMBAHAN.
Pasal 21.
(1)       Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini, demikian juga akan diatur berangsur-angsur berlakunya Undang-undang ini terhadap pekerjaan   atau   macam   pekerjaan   yang   tertentu   untuk   seluruh   atau   sebagian   dari aturan-aturan dalam Undangundang ini.
(2)      Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) dapat juga diadakan aturan-aturan peralihan.
Pasal 22.
Undang-undang ini disebut “Undang-undang Kerja tahun 1948″.
biasa.
Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum diperintahkan, supaya diumumkan secara
Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 20 April 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNO.
Menteri Kehakiman,
Diumumkan
pada tanggal 15 April 1948.
Sekretaris Negara,
A.G. PRINGGODIGDO.
SOESANTO TIRTOPRODJO.
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1948
Pemerintah yang khusus ditunjuk dalam Undang-undang ini. Undang-undang yang khusus sudah barang tentu akan memuat aturan-aturan yang lebih lanjut yang mungkin berbeda dari aturan-aturan dalam Undang-undang yang umum ini. Maka dalam hal itu aturan yang khusus yang berlaku (lex specialis derogat generali).
Undang-undang pokok ini dimaksudkan pula sebagai suatu pernyataan (declaratoir) politik sosial negara kita yang mengenai pekerjaan buruh untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh, selaras dengan pasal 27, ayat (2) Undang-undang Dasar. Undang-undang ini akan merupakan pedoman buat masyarakat pada umumnya dan butuh dan majikan pada khususnya. Keadaan-keadaan dalam perburuhan yang hendak dilaksanakan oleh Undang-undang ini pada umumnya baru bagi buruh Indonesia. Beberapa aturan yang kelihatannya merugikan buruh, misalnya larangan pekerjaan anak, akan berakibat, bahwa anak tidak lagi dapat mencari nafkah sendiri untuk meringankan beban hidup orang tuanya. Mungkin sekali larangan pekerjaan anak akan menimbulkan salah faham diantara buruh yang terkena.
Bagi majikan Undang-undang ini membawa beberapa akibat, yang mengenai keuangannya dan peraturan kerja.
Maka pada permulaan perlu sekali diadakan penerangan kepada buruh dan majikan agar mereka insyaf akan maksud Undang-undang ini dan mudah menyesuaikan diri kepadanya.
Walaupun demikian, dalam masa peralihan mungkin masih timbul beberapa kesukaran dalam perburuhan dan perusahaan karena berlakunnya Undang-undang ini, misalnya dalam hal-hal buruh anak    harus    diganti    oleh    buruh   dewasa.   Kesukaran-kesukaran   itu    dapat   dihindarkan. Kesukaran-kesurakan tidak menimbulkan keragu-raguan untuk mengadakan Undang-undang ini.
Hanya perlu diusahakan untuk mengurangi kesukaran-kesukaran itu. Untuk maksud ini diadakan pasal 21. Dalam peraturan Pemerintah, yang lebih lemas dan mudah dirubah dari pada
Undang-undang, akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini. Demikian juga akan diatur dengan berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu, baik untuk seluruh, ataupun untuk sebagian dari aturan-aturan dalam Undang-undang ini. Selain dari pada itu menurut pasal 22 ayat (2) dapat diadakan aturan-aturan peralihan.
Selanjutnya Undang-undang ini akan dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, sehingga maksudnya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
Undang-undang ini  bersifat  hukum  umum  (publiek  rechtelijk)  dengan  sangsi  hukuman karena :
Pertama           :           Aturan-aturan  yang  termuat  didalamnya  bukan  bermaksud  melindungi kepentingan seseorang saja, melainkan bersifat aturan masyarakat.
Kedua   :         Buruh Indonesia pada umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Berhubung dengan itu maka negaralah yang harus menjaga bahwa aturan-aturan dalam Undang-undang ini dijalankan. Dalam pada itu sangsi hukuman perlu diadakan. Dengan adanya ancaman   hukuman   ini,   akan   dicapai   pula   paksaan   rohani   dan   pengaruh   mendidik   dari Undang-undang ini terhadap yang berkepentingan.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL : Pasal 1.
Ayat (1)           Yang diatur dalam Undang-undang ini ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh
untuk majikan dalam suatu hubungan  kerja  dengan  menerima  upah.  Maka  yang  penting
ialah syarat, bahwa harus ada suatu hubungan kerja yang “zakelijk”. Dalam arti kata upah
tidak  hanya  termaktub  upah  dengan  uang,  melainkan  juga  upah  dengan  barang  atau
perbuatan imbangan, dan bentuk-bentuk upah lainnya. Berhubungan dengan itu misalnya
tidak dikenakan oleh, Undang-undang ini : pekerjaan yang dijalankan oleh pelajar-pelajar
sekolah pertukangan yang bersifat pendidikan, pekerjaan yang dijalankan oleh seseorang
untuk diri sendiri atau perusahaannya sendiri, pekerjaan yang dijalankan oleh seorang anak
untuk orang tuanya, oleh seorang isteri untuk suaminya, pekerjaan yang dijalankan oleh
anggauta-anggauta sekeluarga untuk perusahaan keluarga itu dan pekerjaan yang dijalankan
oleh seorang untuk tetangganya atas dasar tolong menolong menurut ada kebiasaan. Dalam
pasal ini diadakan 3 golongan orang.
Orang dewasa :yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun keatas.
Orang muda : yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur lebih dari 14 tahun tetapi kurang dari 18 tahun. Dalam umur itu kemungkinan kemajuan badan dan kecerdasan sedang berkembang. Berhubung dengan itu, perlu diadakan pembatasan kerja yang mengenai buruh muda, untuk menjaga jangan sampai kemungkinan kemajuan itu terhalang.
Anak        :     ialah  orang  laki-laki  maupun  perempuan,  yang  berumur  14  tahun  kebawah.
Penetapan batas umur ini berhubungan dengan larangan pekerjaan anak. Keadaan badan
anak umumnya masih lemah. Dipandang dari sudut pendidikan anak masih harus bersekolah
sampai umum 14 tahun, yang kira-kira sampai sekolah menengah atau sekolah kepandaian
istimewa 2 atau 3 tahun sesudahnya keluar dari sekolah rendah. Dalam penetapan batas
umur dan larangan pekerjaan anak terkandung cita-cita, bahwa anak-anak kita umumnya sekurang-kurangnya harus berpendidikan rendah ditambah dengan 2 atau 3 tahun sekolah menengah atau sekolah kepandaian istimewa. Batas umur 14 tahun ini ialah sama dengan yang telah ditetapkan dalam Converentie internasional.
Undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda dulu mengambil sebagai batas  umur  12  tahun  untuk  larangan  pekerjaan  anak.  Undang-undang  kerja  ini  dapat dikatakan amat maju dalam hal itu.
Ayat (2)           Dalam Undang-undang ini dianggap tidak perlu ditegaskan arti kata majikan, ialah umumnya tiap-tiap orang pemberi pekerjaan (werkgever). Yang dianggap penting yalah, perluasan arti yang termaktub dalam ayat ini berhubung dengan tanggung jawab tentang berlakunya Undang-undang ini termaksud dalam pasal 17.
Ayat (3)    Perluasan    arti    perusahaan    dengan    sifat    umum    yang    dimaksudkan    dengan
Undang-undang ini.
Pasal 2.
Ayat (1)           Larangan pekerjaan anak  didasarkan atas maksud untuk menjaga kesehatan dan pendidikannya. Badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan apalagi yang berat. Pekerjaan yang ringanpun merugikan kemungkinan kemajuan kecerdasan anak, karena pekerjaan, apalagi yang sifatnya routine, menyebabkan tumpulnya kecerdasan anak. Selain dari pada itu larangan pekerjaan anak dihubungkan dengan kewajiban belajarbagi anak-anak sekarang di Indonesia belum ada kewajiban belajar. Maksudnya bersama-sama dengan larangan pekerjaan anak diadakan tempat pendidikan yang cukup bagi anak.
Pasal 3.
anak.
Pasal ini memudahkan soal bukti dalam menuntut pelanggaran larangan pekerjaan
Pasal 4, 5 dan 6.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang muda dengan melarang pekerjaan orang muda yang mudah merusak atau berbahaya bagi kesehatannya. Orang muda masih harus mengembangkan kemungkinan kemajuannya, jasmani dan rohani. Dalam pasal 4 ayat (2) dan (3) diatas hal-hal yang dapat dikecualikan dari larangan pekerjaan orang muda pada malam hari.
Pasal 7, 8 dan 9.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang wanita atas pertimbangan, bahwa wanita itu lemah badannya untuk menjaga kesehatan dan kesusilaannya.
Dikecualikan dari larangan pekerjaan wanita pada malam hari, pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita, misalnya pekerjaan dalam rumah sakit.
Pasal 10.
Dalam pasal ini ditetapkan waktu kerja maximum dan waktu istirahat. Jikalau kita mengingat masa pembangunan negara yang kita hadapi, dan ternyata mempergunakan pekerjaan buruh dinegeri kita yang pada umumnya belum rasionil, maka penetapan waktu kerja dan istirahat tadi menggambarkan dengan cukup jelas maksud pemerintah untuk mempertinggi derajat penghidupan dan kecerdasan buruh.
Pasal 11.
Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pada hari-hari raya yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan. Maksudnya : ialah, bahwa buruh sepatutnya mendapat kesempatan juga untuk merayakan hari raya itu.
Kekecualian  dalam  pasal  ini  mengenai  misalnya:  pekerjaan  dalam  perusahaan kereta-api, perusahaan pengangkutan lain, yang karena sifatnya harus berjalan terus.
Pasal 12.
Pasal ini merupakan kekecualian terhadap penetapan jam kerja, waktu istirahat dan hari libur dalam pasal 10 dan 11, yaitu mengatur hal-hal dimana buruh terpaksa bekerja terus untuk menghindarkan kekacauan atau gangguan dalam productie atau administrasi. Itupun masih dengan pembatasan waktu kerja sampai 54 jam seminggu. Pekerjaan itu memang berat, akan tetapi oleh karena tidak selalu dipergunakan dan biasanya hanya mengenai pekerjaan masa (seizoensarbeid) maka dalam prakteknya aturan ini tidak akan membawa akibat yang merugikan kesehatan buruh. Syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh akan ditetapkan dalam peraturan Pemerintah misalnya yang mengenai cara kerja giliran; pembatasan lamanya waktu kerja masa dan lain sebagainya.
Pasal 13.
Pasal ini menjamin waktu istirahat bagi buruh wanita pada waktu haidh dan pada
waktu sebelum dan sesudahnya melahirkan anak untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh wanita dan anaknya Pemerintah bermaksud akan menetapkan dalam Undang-undang lainnya, bahwa buruh wanita tadi selama waktu istirahat itu tetap menerima upahnya penuh.
Dalam aturan ayat (4) terkandung maksud Pemerintah untuk menjamin kesempatan bagi buruh untuk menjalankan kewajibannya terhadap anaknya. Dipikirkan juga oleh Pemerintah  misalnya  kemungkinan  mengadakan  tempat  penitipan  dan  pemeliharaan anak-anak buruh wanita.
Pasal 14.
Pasal ini mengharuskan waktu istirahat tahunan selama dua minggu. Buruh kita seharusnya diberi kesempatan untuk beristirahat yang akan dipergunakan untuk menengok kaum keluarga atau untuk mengadakan perjalanan peninjauan dengan maksud untuk menyegarkan badan dan pikiran serta meluaskan pemandangan. Dalam hal ini dipikirkan kemung- kinan mengadakan tempat-tempat istirahat dan peninjauan bagi buruh. Aturan dalam ayat (2) antara lain ditujukan kepada buruh yang bekerja dikepulauan lain dari pada asalnya.
Pasal 15.
Ayat  (1)  dari  pasal  ini  menjamin  kesempatan  bagi  buruh  untuk  menjalankan
kewajiban menurut agamanya. Aturan dalam ayat (2) ini memberikan kesempatan bagi buruh untuk merayakan kemenangannya.
Pasal 16.
Pasal ini memuat aturan pangkal untuk aturan-aturan yang lebih khusus tentang tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan. Aturan-aturan selanjutnya yang khusus akan dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah. Menurut ayat (3) pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perusahaan buruh yang disediakan oleh majikan.
Pasal 17.
Pasal ini menetapkan siapa yang bertanggung jawab, bahwa aturan-aturan dalam
Undang-undang ini, dalam peraturan-peraturan dan perintah-perintah termaksud dalam pasal
16  ayat  (3)  di-indahkan.  Jikalau  majikan  memenuhi  kewajibannya,  niscaya  tidak  akan
dijalankan pekerjaan yang bertentangan dengan aturan-aturan itu.
Pasal 18.
Pasal ini memuat aturan-aturan hukuman. Hal-hal yang dikenakan hukuman menurut Undang-undang ini dianggap sebagai pelanggaran. Ancaman hukuman agak berat berhubung dengan pentingnya tujuan Undangundang ini dan terbelakangnya perburuhan dan buruh di negeri ini.
Pasal 19.
Pasal ini memberi peraturan tentang penuntutan dan penghukuman, jika majikan itu suatu badan hukum.
Pasal 20.
Menyebut   pegawai-pegawai   yang   khusus   diwajibkan   mengusut   pelanggaran aturan-aturan kerja dalam dan berhubung dengan Undang-undang ini.
Pasal 21.
Untuk menjamin supaya Undang-undang ini berlaku selekas-lekasnya dan untuk menghindarkan kesulitankesulitan berhubung dengan keadaan sekarang, maka diadakan macam-macam kemungkinan tentang cara menetapkan berlakunya.
Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa Undang-undang ini berlaku berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu.
Peraturan    Pemerintah    dapat    juga    menetapkan,    bahwa    aturan-aturan    dalam
Undang-undang ini dapat berlaku sebagian atau seluruhnya.
Cara yang ketiga ialah mengadakan aturanaturan peralihan untuk mempermudah
berlakunya Undang-undang ini dengan mempersiapkan keadaan.
Dengan sendirinya usaha persiapan dan peralihan ini memerlukan kebijaksanaan
yang sungguhsungguh. Maka dari itu kewajiban  ini diserahkan kepada  Peraturan Pemerintah yang dengan  cara yang lebih “lemas”  dapat  mengatasi  kesulitan-kesulitan.
SUMBER:
hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_12_1948.pdf


HUKUM PERIKATAN

HUKUM PERIKATAN (PERJANJIAN DAN UU)
HUKUM PERIKATAN (PERJANJIAN DAN UU)
Hukum Perikatan/ Perjanjian
Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.
Tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun menjadi hal yang penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku.
Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda.
Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3. Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
Perikatan hapus:
1. pembayaran
2. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. pembaruan utang
4. perjumpaan utang atau kompensasi
5. percampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang
6. kebatalan atau pembatalan
7. berlakunya suatu syarat pembatalan, karena lewat waktu.
Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri.
Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur.
Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang:
1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama.
2. bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama.
3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama.
Pembaharuan utang hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang cakap untuk mengadakan perikatan.
Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang, yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut . Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk jumlah yang sama.
Bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang dihapuskan. Percampuran utang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. Percampuran yang terjadi pada diri si penanggung utang, sekali-kali tidak.
Pembebasan suatu utang tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus dibuktikan. Pengembalian sepucuk surat piutang di bawah tangan yang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan juga terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung.
Jika barang tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka.


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan diIndonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek AbiotikBiotik, dan Kultural. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup”.
Dokumen AMDAL terdiri dari :
·                     Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
·                     Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
·                     Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
·                     Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
AMDAL digunakan untuk:
·                     Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
·                     Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
·                     Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
·                     Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
·                     Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah:
·                     Komisi Penilai AMDAL, komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL
·                     Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
·                     masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1.            Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012
2.            Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010
3.            Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006

4.            Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008

UNDANG - UNDANG DAN PERATURAN PEMBANGUNAN NASIONAL


UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah sistem yang menjadi pedoman pengambilan kebijakan pemerintahan diIndonesia. Sistem ini adalah pengganti dari sistem yang sebelumnya disebut dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tertulis: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional : “Agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan”
Landasan Filosofis:
Cita-cita Nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah berkehidupan kebangsaan yang bebas, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur;
Tujuan Nasional dengan dibentuknya pemerintahan adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia;
Tugas Pokok Setelah Kemerdekaan adalah menjaga kemerdekaan serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan;
Agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembanagunan.
Peraturan Perundang-undangan di dalam Perencanaan dan Penganggaran:
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN);
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025;
Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang direvisi menjadi Peraturan Pemerintah No 90 tahun 2010 ;
Peraturan Pemerintah No 39 tahun 2006 tentang Tatacara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan;
Peraturan Pemerintah No 40 tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional;
Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antar pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Peraturan Pemerintah No 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan  Pemerintah No 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
Peraturan Presiden No 5 Tahun 2010 tentang  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah (1) satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan; (2) untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan; (3) yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Proses Perencanaan: 
Pendekatan Politik: Pemilihan Presiden/Kepala Daerah menghasilkan rencana pembangunan hasil proses politik (public choice theory of planning), khususnya penjabaran Visi dan Misi dalam RPJM/D.
Proses Teknokratik: menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu.
Partisipatif: dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholders, antara lain melalui Musrenbang.
Proses top-down dan bottom-up: dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan.
Asas Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional:
Pembangunan nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.
Perencanaan pembangunan nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan.
SPPN diselenggarakan berdasarkan asas umum penyelenggaraan negara : Asas  kepastian hukum, Asas  tertib penyelenggaraan negara, Asas kepentingan umum, Asas keterbukaan, Asas  proporsionalitas, Asas  profesionalitas, dan Asas akuntabilitas
Tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional:
Mendukung koordinasi antar-pelaku pembangunan.
Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar-Daerah, antar-ruang, antar-waktu, antar-fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah
Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Mengoptimalkan partisipasi masyarakat
Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,  berkeadilan, dan berkelanjutan
Ruang Lingkup Perencanaan (UU25/2004):
1.    Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-Nasional)
2.    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional)
3.    Renstra Kementerian / Lembaga (Renstra KL) Peraturan Pimpinan KL
4.    Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Per Pres
5.    Rencana Kerja Kementerian / Lembaga (Renja KL) Peraturan Pimpinan KL

Terdapat kendala perencanaan dan penganggaran secara umum dan spesifik. Kendala umum, yaitu:
Lemahnya koordinasi dalam pengelolaan data dan informasi sehingga tidak tepat sasaran.
Lemahnya keterkaitan proses perencanaan, proses penganggaran dan proses politik dalam menerjemahkan dokumen perencanaan menjadi dokumen anggaran.
Kurangnya keterlibatan masyarakat warga (civil society).
Lemahnya sistem pemantauan, evaluasi dan pengendalian (safeguarding).
Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ketergantungan pada sumberdana dari donor dan lembaga internasional.
Permasalahan (Spesifik ) dalam perencanaan dan penganggaran, adalah:
Permasalahan yang terkait dengan struktur program dan kegiatan perencanaan dan penganggaran antara lain adalah:
Pelaksanaan (operasional) perencanaan yang diwujudkan dalam bentuk program, cenderung disusun dengan pendekatan input based.
Program digunakan oleh beberapa Kementerian Negara/Lembaga.
Program memiliki tingkatan kinerja yang terlalu luas.
Program memiliki tingkatan yang sama atau lebih rendah dibandingkan kegiatan. Masih ditemui adanya beberapa keluaran yang tidak berkaitan dengan pencapaian kinerja.
2.    Permasalahan yang terkait dengan tidak sinerginya perencanaan pusat,   perencanaan sektoral dan daerah.
Pembangunan nasional (makro) semata-mata agregasi (gabungan) atas pembangunan-pembangunan daerah/wilayah atau bahkan sekedar gabungan pembangunan antar sektor semata.
Pembangunan nasional adalah hasil sinergi berbagai bentuk keterkaitan (linkages), baik keterkaitan spasial (spatial linkages atau regional linkages), keterkaitan sektoral (sectoral linkages) dan keterkaitan institusional (institutional  linkages).
3.    Perubahan lingkungan strategis nasional dan internasional yang perlu diperhatikan antara lain: 
Demokratisasi, Proses perencanaan pembangunan dituntut untuk disusun secara terbuka dan melibatkan semakin banyak unsur masyarakat
Otonomi Daerah, Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu sinkron dan sinergis antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten
Globalisasi, Perencanaan pembangunan dituntut untuk mampu mengantisipasi kepentingan nasional dalam kancah persaingan global
Perkembangan Teknologi, Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat
Tantangan Perencanaan Pembangunan:
Menghadapi dinamika perubahan serta kompleksitas permasalahan pembangunan nasional tersebut di atas, maka SPPN dituntut untuk mampu:
Mengalokasikan sumberdaya pembangunan kedalam kegiatan-kegiatan melalui kelembagaan-kelembagaan dalam konteks untuk mencapai masa depan yang diinginkan;
Fleksible dengan horizon perencanaan yang ditetapkan, sehingga tidak terlalu kaku dengan penerapan konsep pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang;
Memperluas dan mendiseminasikan kemampuan perencanaan ke seluruh lapisan masyarakat.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang): Setiap proses penyusunan dokumen rencana pembangunan tersebut memerlukan koordinasi antar instansi pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum yang disebut sebagai Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang. Jadi Musrenbang adalah : 
Forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah
Forum pemangku kepentingan dalam rangka menyusun rencana pembangunan daerah dimulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, forum SKPD, kabupaten/kota, provinsi, dan regional sampai tingkat nasional
Diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara Negara dengan mengikutsertakan masyarakat.
Juknis Musrenbang 2007, dibagi ke dalam bagian/tahapan penyelenggaraan proses Musrenbang:
1.    Musrenbang Desa/Kelurahan
2.    Musrenbang Kecamatan
3.    Forum SKPD Kabupaten/Kota
4.    Musrenbang Kabupaten/Kota
5.    Pasca Musrenbang Kabupaten Kota
6.    Forum SKPD Provinsi
7.    Rapat Koordinasi Pusat (Rakorpus)
8.    Musrenbang Provinsi
9.    Pasca Musrenbang Provinsi
10.    Musrenbang Nasional
   
Pengendalian Pelaksanaan Rencana :
Pimpinan Kementerian/Lembaga/SKPD melakukan pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
Pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan merupakan tugas dan fungsi yang melekat pada masing-masing Kementerian/Lembaga/ SKPD.
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana dilakukan melalui kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut.
Menteri/Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya
Evaluasi Pelaksanaan Rencana :
Merupakan bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan.
Evaluasi dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact).
Dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap kementerian/lembaga, baik pusat maupun daerah, berkewajiban untuk melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan dan atau terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
Dalam melaksanakan evaluasi kinerja proyek pembangunan, kementerian/lembaga, baik pusat maupun daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah rencana.
Referensi:
Undang-Undang Nomor  25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), paparan Direktorat Otonomi Daerah, Kedeputian Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, disampaikan pada : Bimbingan Teknis Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) 2011, Hotel Dana Dariza-Cipanas, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat 9-10 Februari 2011

PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN

PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN
Perencanaan fisik adalah suatu usaha pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan fisik. Proses perencanaan fisik pembangunan harus melaksanakan amanat UUD 1945 Amandemen tentang pemilihan umum langsung oleh rakyat. Perencanaan pembangunan nasional masih dibutuhkan mengingat amanat Pembukaan UUD 1945 dan kondisi faktual geografis, sosial, ekonomi, dan politik bangsa Indonesia yang beranekaragam, dan kompleks. 

Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana dibagi menjadi dua Sub Bidang yaitu,
1.    Sub Bidang Tata Ruang & Lingkungan
Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan mempunyai tugas antara lain sebagai berikut :
·         Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di bidang tat ruang dan lingkungan.
·         Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program Tata Ruang dan Lingkungan yang serasi.
·         Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan Tata Ruang dan Lingkungan.
·         Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan sub bidang Tata Ruang dan Lingkungan.
·         Melaksanakan inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
·         Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan sesuai dengan bidang tugasnya.
·         Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.
2.    Sub Bidang Prasarana Wilayah
Sub Bidang Prasarana Wilayah mempunyai tugas antara lain sebagai berikut,
·         Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di Sub Budang Prasarana Wilayah
·         Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program bidang Prasarana Wilayah
·         Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan PU, Perumahan dan Perhubungan.
·         Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan Sub Bidang Prasarana Wilayah.
·         Melaksanakan inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Prasarana Wilayah serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
·         Memberikan saran dan pertimbangan kepada aasan sesuai dengan bidang tugasnya.
·         Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.
Sistem perencanaan pembangunan nasional diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) telah mengakomodasi seluruh tuntutan pembaharuan sebagai bagian dari gerakan reformasi. Perencanaan pembangunan nasional harus dapat dilaksanakan secara terintegrasi, sinkron, dan sinergis baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah.
Rencana pembangunan nasional dimulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Kemudian,Rencana Pembangunan Jangka Menegah (RPJM) yang berupa penjabaran visi dan misi presiden dan berpedoman kepada RPJP Nasional. Sedangkan untuk daerah, RPJM Nasional menjadi perhatian bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM Daerah (RPJMD).
Di tingkat nasional proses perencanaan dilanjutkan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang sifatnya tahunan dan sesuai dengan RPJM Nasional. Sedangkan di daerah juga disusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu kepada RKP.
Rencana tahunan sebagai bagian dari proses penyusunan RKP juga disusun oleh masing-masing kementerian dan lembaga dalam bentuk Rencana Kerja (Renja) Kementerian atau Lembaga dan di daerah Renja-SKPD disusun sebagai rencana tahunan untuk SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Rencana kerja atau Renja ini disusun dengan berpedoman kepada Renstra serta prioritas pembangunan yang dituangkan dalam rancangan RKP, yang didasarkan kepada tugas dan fungsi masing-masing instansi.

STUDI KASUS : PEMBANGUNAN FISIK KURANG PERENCANAAN

Pada awal tahun 2013 ini, Pememrintah Kabupaten (Pemkab) Bungo telah melakukan evaluasi kepada seluruh Kepala Satuan Kinerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Bungo. Dalam pertemuan tersebut, wakil Bupati Bungo, H. Mashuri sangat kecewa dengan hasil pembangunan fisik di Pemkab Bungo.
Menurutnya, pembangunan fisik yang ada di Pemkab Bungo dikerjakan kurang perencanaan. Sehingga proyek yang dikerjakan asal-asalan. Bahkan, menurutnya, ada beberapa kepala dinas yang tidak mengetahui sama sekali hinga proses pembangunan gedung selesai. “Kita sudah turun dibeberapa tempat,” kata Mashuri, saat melakukan rapat evaluasi program kerja tahun 2012 lalu. “Saya melihat, kegiatan fisik, khususnya pembangunan gedung di beberapa SKPD banyak yang amburadul. Bahkan, ada Kadis yang tidak melihat  sampai penyerahan gedung itu dari kontraktor,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu memang wabub melakukan sidak terhadap proyek pembangunan fisik di beberapa tempat. Disanalah terlihat pembangunan fisik di Pemkab Bung tidak sesuai dengan perencanaan. “Disini terlihat perencanaannya sangat kurang,” kata dia. Dirinya juga menyebut, ada gedung yang baru rehab atau di bangun, yang di toiletnya tidak ada keran air. Hal ini, katanya menunjukkan jika pembangunan tersebut hanya sekedarnya. Wabup menegaskan, jika proyek harus diselesaikan secara tuntas. “Jangan satu-satu, pekerjaan itu harus tuntas. Misalnya, kalau memang anggarannya tidak cukup untuk membuat tipe gedung 46, ya terlebih dahulu buat tipe 36. Jangan buat yang lebih besar tapi tidak tuntas,” katanya.
Menurutnya, yang terpenting pembuatan gedung itu tuntas secara keseluruhan. Sehingga tidak amburadul. “Ini ada yang jendelanya tidak bisa di kunci, pintunya pun demikian. Cat temboknya juga asal-asalan,” imbuhnya.

Wabup menegaskan, pada tahun 2013 ini, dirinya tidak ingin melihat kondisi seperti pada tahun 2012 terulang lagi. Kepala SKPD menurutnya, harus mengecek secara langsung ke lapangan. “Jangan kepala dinas justru banyak ke luar daerah. Harus imbanglah, antara agenda di luar dengan kerja di dalam. Sehingga pekerjaan yang ada di dalam tidak morat-marit,” katanya.